Cerita ini hanya sepenggal dari satu lakon wayang berjudul Dewa Ruci. Untuk mendapatkan ‘rasa’ seperti yang diucapkan oleh Resi Durna itu, Bratasena harus mencari kayu gung susuhing angin (kayu besar sarangnya angin). Padahal kayu tersebut sebenarnya tidak ada, bahkan menurut Durna semua itu tidak jelas dan tidak artinya. Hal itu dilakukan hanya untuk mencelakakan Bratasena sebagai bagian dari skenario Kurawa. Tetapi Bratasena yang mempunyai watak polos tetap saja menjalankan apa yang diperintahkan gurunya itu.
Sekian lama mencari dengan niat tulus dan teguh di tengah hutan belantara Bratasena tidak mendapatkan apapun. Hingga akhirnya bertemu dengan dua raksasa besar yang mengganggu jalannya. Pertempuran antara Bratasena dan kedua raksasa tersebut tidak terhindarkan lagi. Sampai akhirnya kedua raksasa itu berubah wujud menjadi Batara Indra dan Batara Bayu. Ketulusan dan niat yang kuat itu ternyata berhasil ‘membebaskan’ kedua Batara tersebut dari hukumannya menjadi raksasa. Atas jasa itulah, Bratasena mendapatkan hadiah berupa cincin yang disebut Sesotya Mustika Manik Candrama.
Selain itu Bratasena juga mendapatkan penjelasan tentang apa yang dicarinya. Kayu gung susuhing angin ternyata hanya sebuah simbolisasi. Menurut Batara Indra, kayu berarti keinginan atau cita-cita; gung artinya besar; dan susuhing angin artinya pusatnya angin (pengatur angin). Lebih lengkap arti simbolisasi itu adalah keinginan atau cita-cita yang besar itu akan terlaksana jika disertai dengan pengaturan napas, heningnya pikiran, mengendapnya panca indera dan tenangnya rasa. Dalam era sekarang lebih berarti sebagai meditasi, tetapi tampaknya tidak bisa diartikan sementah itu.
Bratasena sendiri belum puas dengan penjelasan Batara Indra dan Batara Bayu tentang kayu gung susuhing angin tersebut. Tetapi karena kedua Batara merasa tidak berhak membuka dan memberitahu semua tentang hal tersebut maka keduanya hanya menyuruh Bratasena kembali ke Durna untuk bertanya.
Tirta Pawitra ing Samudra Minangkalbu
Tirta Pawitra ing Samudra Minangkalbu
Kembali menemui Resi Durna, Bratasena menyampaikan bahwa dia sudah menemukan apa yang dimaksud dengan kayu gung susuhing angin. Sebagai buktinya dia mendapatkan cincin Sesotya Mustika Manik Candrama pemberian Batara Indra dan Batara Bayu. Sedikit kaget dan gembira (karena sebenarnya Durna sangat sayang pada Bratasena) Resi Durna memberikan ucapan selamat. Sayangnya untuk mencapai ilmu kautaman (keutamaan) hal itu saja tidak cukup. Bratasena masih harus mencari Tirta Pawitra ing Samudra Minangkalbu. Sarana yang dicari itu berada di tengah dan kedalaman samudera.
Sesampainya Bratasena di tepi samudera yang luas, keraguan dan ketakutan datang dalam dirinya. Sebagai manusia biasa, Bratasena mempunyai rasa itu. Apalagi samudera luas yang hendak diselaminya mempunyai gelombang ombak yang besar. Ditambah juga dengan halilintar dan geledek yang menyambar-nyambar tiada henti. Tekad yang kuat dalam diri Bratasenalah yang kemudian mendorongnya untuk tetap menceburkan diri ke dalam samudera itu. Setidaknya jika pun mati maka kematian sebagai manusia yang utama didapatnya, begitu pikir Bratasena.
Di tengah dan kedalaman samudera itulah ombak kian besar, tetapi karena sudah mempunyai cincin Sesotya Mustika Manik Candrama (pengikat tekad dengan doa) maka samudera itu menjadi sedemikian tenang. Ternyata setelah ketenangan itu, tiba-tiba datang ular besar (naga) yang menyerang Bratasena. Perkelahian tak terhindarkan. Sampai akhirnya ular tersebut mati terkena kuku Bratasena. Seiring kematian ular tersebut muncullah orang bertubuh kecil yang mirip sekali dengan Bratasena.
Dialah Dewa Ruci. Dewa Ruci kemudian bertanya apa yang dicari Bratasena di tengah samudera luas. Bratasena menjawab bahwa dia mencari Tirta Pawitra. Menurut Dewa Ruci, Tirta Pawitra adalah air suci yang berada di dalam hati Bratasena sendiri. Artinya hati yang tidak diikat (dikuasai) oleh hawa nafsu. Hal tersebut kemudian mewujud dalam bentuk Dewa Ruci yang tidak lain adalah Bratasena sendiri. Keberhasilan Bratasena mengatasi ombak besar dan ular besar merupakan pertanda Bratasena sudah bisa melepaskan diri dari ikatan hawa nafsu.
Sampai disitu kemudian Bratasena bertanya pada Dewa Ruci tentang cara mendapatkan ilmu kesempurnaan dan kebahagiaan kehidupan. Oleh Dewa Ruci, Bratasena diminta untuk masuk ke dalam tubuh Dewa Ruci. Beberapa saat kemudian Bratasena telah masuk ke dalam rahim suci (gua garba) Dewa Ruci. Gua garba merupakan tempat bayi yang masih suci, sehingga dapat dikatakan Bratasena telah menjadi manusia suci lahir dan batin (kembali).
Kesucian Bratasena itulah yang membuka jalan untuk dekat dengan Yang Maha Suci. Kedekatan yang dilukiskan sebagai ‘dekat tanpa bersenggolan, jauh tanpa jarak’. Ini merupakan keberhasilan membuka tabir untuk dekat dengan Gusti. Bratasena tiba-tiba merasakan kenikmatan yang tiada tara, berada di tempat yang luas tanpa batas dan tenteram tanpa kesedihan. Hal itu hanya dapat dilakukan dengan sembah (berserah) raga, sembah cipta, sembah rasa dan sembah jiwa.
Kenikmatan yang dirasakan oleh Bratasena membuatnya tidak mau untuk pergi, bahkan dia menginginkan untuk tetap tinggal selamanya di tempat tersebut. Untuk hal ini Dewa Ruci tidak mengizinkannya. Pertama, karena masih ada tugas yang harus diselesaikan Bratasena. Kedua, ibarat orang makan saat ini Bratasena sedang mencicipi saja; Kelak kalau sudah tiba saatnya akan mendapatkan ketenteraman yang berlimpah dan kekal. Seiring dengan keluarnya Bratasena dari tubuh Dewa Ruci, Dewa Ruci hilang dan menyatu dalam diri Bratasena.